728x90 AdSpace

  • Latest News

    Emha, Masa Kini dan Masa Lalu Sebagai Kritikus - Musikus - Rohaniawan


    Emha Ainun Nadjib (Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953), adalah seorang tokoh intelektual yang mengusung nafas islami di Indonesia. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Gontor Ponorogo karena melakukan ‘demo’ melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro Yogya antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha. Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padang Bulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Musik Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

    Teater

    Memacu kehidupan multi-kesenian Yogya bersama Halimd HD, jaringan kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan menghasilkan repertoar serta pementasan drama.

    Beberapa Karyanya:

    Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto), Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan), Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern), Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern). Kemudian bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun), Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar), Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993). Uga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan.

    Puisi/Buku--Menerbitkan 16 buku puisi:

    * “M” Frustasi (1976)
    * Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978)
    * Sajak-Sajak Cinta (1978)
    * Nyanyian Gelandangan (1982)
    * 99 Untuk Tuhanku (1983)
    * Suluk Pesisiran (1989)
    * Lautan Jilbab (1989)
    * Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990)
    * Cahaya Maha Cahaya (1991)
    * Sesobek Buku Harian Indonesia (1993)
    * Abacadabra (1994)
    * Syair Asmaul Husna (1994)

    Essai/Buku--Buku-buku esainya tak kurang dari 30 antara lain:

    * Dari Pojok Sejarah (1985)
    * Sastra Yang Membebaskan (1985)
    * Secangkir Kopi Jon Pakir (1990)
    * Markesot Bertutur (1993)
    * Markesot Bertutur Lagi (1994)
    * Opini Plesetan (1996)
    * Gerakan Punakawan (1994)
    * Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996)
    * Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994)
    * Slilit Sang Kiai (1991)
    * Sudrun Gugat (1994)
    * Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995)
    * Bola- Bola Kultural (1996)
    * Budaya Tanding (1995)
    * Titik Nadir Demokrasi (1995)
    * Tuhanpun Berpuasa (1996)
    * Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997)
    * Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997)
    * Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997)
    * 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998)
    * Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998)
    * Kiai Kocar Kacir (1998)
    * Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998)
    * Keranjang Sampah (1998) Ikrar Husnul Khatimah (1999)
    * Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000)
    * Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000)
    * Menelusuri Titik Keimanan (2001)
    * Hikmah Puasa 1 & 2 (2001)
    * Segitiga Cinta (2001)
    * “Kitab Ketentraman” (2001)
    * “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001)
    * “Tahajjud Cinta” (2003)
    * “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003)
    * Folklore Madura (2005)
    * Puasa ya Puasa (2005)
    * Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara)
    * Kafir Liberal (2006)
    * Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006)
    * "Istriku Seribu" Polimonogami Monopoligami...(Januari 2007, Essai) (jbr fhr)

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Emha, Masa Kini dan Masa Lalu Sebagai Kritikus - Musikus - Rohaniawan Rating: 5 Reviewed By: Unknown
    Scroll to Top