728x90 AdSpace

  • Latest News

    Kurban Hewan atau Kurban Perasaan?

    Bersempena dengan hari raya 'Idul Adha yang disebut juga dengan 'Idul Qurban, dimana-mana umat Islam melakukan sebuah kegiatan ritual yaitu menyembelih hewan qurban setelah selesai hari raya 'Idul Adha hingga selesai hari tasyrik yaitu 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.

    Tidak ditemui dalil yang menganjurkan menyembelih hewan qurban yang dilaksanakan bersama oleh tiga orang dengan menyembelih seekor kambing dan sejenisnya, dan tujuh orang menyembelih seekor sapi dan sejenisnya. Entah demikian ini bersifat ijtihad tidaklah kita terlalu bertele-tele menyelidikinya tetapi yang jelas pelaksanaan qurban senantiasa dilaksanakan oleh umat Islam khususnya orang yang berkemampuan, kapan dan dimana saja.

    Qurban lebih identik dengan keseharian bangsa kita yang sering menyebut dengan "Kurban", tetapi makna antara kedua kata tersebut berbeda dalam bahasa mau pun definisinya. Kurban diartikan sebagai melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh, mengerahkan tenaga dan fikiran demi kemaslahatan, membantu memberikan jasa kepada manusia dengan sebaik-baiknya. Sedangkan qurban terambil dari kata "Qaraba - Yaqribu - Qurban" yang artinya dekat, mendekat, dan kedekatan.

    Maksudnya adalah sebuah kegiatan yang dilakukan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, dalam hal ini salat, zakat, puasa, dan termasuk menyembelih hewan juga dianalogikan sebagai ritual dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

    Sejarah bermula ketika nabi Ibrahim 'alaihis salam diperintahkan oleh Allah menyembelih putranya Ismail 'alaihis salam. Sebagai manusia beliau Ibrahim 'alaihis salam tidak akan luput oleh tipu daya duniawi yang di dalamnya ada istri yang dicintai, anak yang disayangi, harta benda yang dikhawatirkan kehilangannya, semua itu hanya akan menghalangi ibadah kepada Allah ta'ala.

    Memang demikian, bahwa kesibukan mengurus dan mengawasi segala harta benda dan urusan sosial lainnya akan menghalangi ibadah kepada Allah, paling tidak seseorang akan terlambat dalam salat berjamaah dan paling kecil dari itu seseorang akan melambat-lambatkan waktu salatnya. Sungguh pun kelalaian demikian kecil ini, tetapi bagi orang-orang shaleh ini adalah kelalaian.

    Nah, kelalaian dalam hal ini disebabkan karena apa? Sudah tentu, itulah kesibukan duniawi. Orang saleh sudah memandang sebagai sebuah kelalaian, yang kelalaian itu bila dikaitkan dengan firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata : "Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh? Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Munafiqun 9-11)

    Telah jelas nas dari Allah di atas maka semua orang yang lalai dari mengingat Allah tercantum sebagai orang-orang yang rugi, entah orang awam, orang saleh, juga para nabi. Apabila lalai maka rugilah ia. Bandingkan saja dengan seorang saleh diawal Islam, yang merasa tidak khusyu' melaksanakan salat lantaran ketika salat itu dia selalu mengawasi seorang pencuri yang tengah mengincar harta bendanya.

    Karena merasa tidak khusyu', maka setelah selesai salat orang saleh itu lalu memanggil pencuri itu, "Hai Fulan kemarilah engkau". Setelah pencuri itu datang kehadapannya maka orang saleh itu berkata "Aku telah terhalang rasa khusyu' dalam salat karena mengawasi engkau jangan sampai engkau mengambil harta bendaku, karena itu aku serahkan semua ini kepadamu. Sebab mungkin engkau lebih membutuhkan".

    Lalu diserahkannya harta benda itu kepada si pencuri. Ada lagi orang saleh diawal Islam, ketika mendirikan salat di kebunnya, dia terhalang khusyu'-nya karena sebentar terpesona memandang buah kurma yang lagi sarat berbuah. Merasa tidak khusyu' itu maka selesai salat orang saleh itu menemui Nabi Muhammad dan menyerahkan kebunnya itu untuk dakwah perjuangan Islam.

    Dua kisah di atas adalah sedikit dari visualisasi betapa orang-orang saleh dalam tawajjuh-nya kepada Allah, apalagi para Nabi dan Rasul sebagaimana yang kita profilkan pada tulisan ini, yaitu nabi Ibrahim 'alaihis salam. Iman dari orang-orang awam bila dibandingkan dengan orang-orang saleh jauh bedanya antara langit dan bumi, demikian juga iman orang saleh dibandingkan dengan para nabi.

    Semakin tinggi maqam seseorang dihadapan Allah maka semakin tinggi perhatiannya dalam menjaga hal-hal yang menggelincirkan iman. Dalam hal ini sering disebut olah para ahli tassawuf sebagai "Wara". Orang awam mengartikan lalai dalam hal sibuk mengurus duniawi sehingga tidak mendirikan salat, orang shaleh mengartikan lalai dalam hal tidak tepat waktu, orang yang lebih saleh lagi mengartikan lalai dalam hal tidak khusyu'.

    Bila ditinjau dari tingkat kesempurnaan dalam hal menjaga diri dari kelalaian, tentu lebih sempurna adalah orang yang lebih tinggi kesalehannya ini. Bila kelalaian yang dijaganya adalah sesuatu yang membuat tidak khusyu', maka kelalaian yang lebih rendah dibawahnya tentu tidak akan terjadi padanya. Sebaliknya orang yang hanya menjaga kelalaian pada taraf yang rendah, maka kelalaian yang lebih diatasnya dia tidak akan bisa menjangkaunya. Dia pasti melanggarnya.

    Sungguh pun seseorang tidak terhalang mengurus harta bendanya dengan tetap teguh menjaga waktu salatnya tetapi kecintaan kepada harta benda, dan muatan duniawi lainnya pasti saja terbagi. Demikian ini mungkin saja ada dalam diri Ibrahim 'alaihis salam, sehingga Allah tidak suka akan kecendrungan seperti ini.

    Atau sangat boleh jadi bahwa cintanya nabi Ibrahim kepada Allah tidak berbelah bagi, tetapi Allah ingin menguji keimanannya, maka penyembelihan terhadap nabi Ismail adalah perwujudan pengorbanan terbesar yang nabi Ibrahim lakukan.

    Konon dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Ibrahim 'alaihis salam pernah menyembelih 1000 ekor unta. Orang pun tercengang menyaksikan kebaktian yang agung itu kepada Allah. Lalu tidak disadari, Ibrahim pun berkata pada mereka, "Jangankan unta, kalau aku punya anak lalu Allah menghendaki agar menyembelih (kurban) dengan anak, pasti akan aku lakukan".

    Ucapan ini terjadi ketika nabi Ibrahim 'alaihis salam belum punya anak. Apakah benar kalau saatnya nanti ketika dia telah punya anak? Lama sudah nabi Ibrahim 'alaihis salam mendambakan punya keturunan yang akan meneruskan risalah perjuangan, mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah dan menjauhi penyembahan berhala. Dambaan dan harapan itu belum juga terwujud, hingga usia beliau mencapai 80 tahun. Dalam usia yang sudah renta itu tiba-tiba saja diberikan keturunan oleh Allah, lahirlah anaknya yang diberi nama nabi Ismail.

    Nah sebagaimana disebutkan di atas, sangat boleh jadi bahwa Allah ingin menguji keimanan nabi Ibrahim antara kecintaan kepada Allah dan kepada anaknya, dan ujian yang pertama datang ketika Ismail masih bayi. Allah menghendaki agar nabi Ibrahim mengasingkan anak dan istrinya ditempat yang jauh, di dekat rumah suci-Nya Kakbah baitullah.

    Dengan tanpa sangsi dan ragu nabi Ibrahim membawa anak dan istrinya, ditempatkannya di lingkungan yang asing, hanya dihuni oleh binatang liar dan semak belukar dan batu cadas yang runcing dam tajam.
    Belum cukup ujian itu, sungguhpun jauh dari anak dan istrinya, tetapi dalam hati pasti teringat oleh Ibrahim bahwa dibalik bebukitan, nun jauh disana ada anak dan istrinya, maka sekali lagi ujian itu datang kepadanya.

    Ketika Ismail sudah beranjak dewasa Ibrahim diperintahkan untuk menyembelihnya. Ujian ini pun dilaksanakan oleh Ibrahim, yang dalam riwayat datanglah Iblis laknatullah `alaih menghalang-halang beliau. Iblis mengadakan petualangan sampai tiga kali dan Ibrahim menolak tipu daya iblis dengan melemparinya sampai tiga kali, sebagaimana diabadikan dalam manasik haji yaitu melempar jumrah ula, wustha' dan aqabah.

    Luluslah Ibrahim, Sitti Hajar istrinya dan Ismail anaknya. Keluarga Ibrahim ini lalu diabadikan dalam Alquran seabagai contoh teladan bagi orang-orang beriman. "Sungguh di dalam diri Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya adalah contoh teladan yang baik bagi kamu."

    Maka selanjutnya qurban diwujudkan dengan menyembelih hewan sebagai tradisi hari raya 'Idul Adha, oleh umat Islam sepanjang masa. Dibalik dari kisah Ibrahim dan keluarganya ini bisa diambil hikmahnya bahwa tidaklah beliau Ibrahim 'alaihis salam dan keluarganya melakukan kurban dengan menyembelih hewan, sebab hewan dalam hal ini qibas dalam kebanyakan kisah adalah baru didatang belakangan oleh Allah untuk mengganti penyembelihan keatas Ismail 'alaihis salam.

    Maka qurban yang dilakukan oleh beliau nabi Ibrahim dan keluarganya yang paling awal dan yang paling tinggi adalah ketertundukan kepada perintah Allah, berserah diri, pasrah atas kehendak Allah yang menghendaki sesuatu yang paling dicintai oleh Ibrahim dan Siti Hajar, yaitu Ismail. Sedangkan qurban bagi Ismail adalah rela berpisah dengan ayah bundanya yang paling ia cintai, rela menyerahkan masa depannya sebagai generasi muda.

    Qurban dengan ciri ketertundukan, pasrah dan berserah diri seperti ini lalu dinyatakan lulus oleh Allah dan kemudian penyembelihan pun diganti dengan seekor qibas dari syurga. Ihwal berkurban dari keluarga Ibrahim seperti ini barangkali telah dilupakan oleh kaum muslimin, yang pada masa belakangan ini telah terkontaminas oleh persepsi kurban dengan menyembelih hewan belaka, sehingga terkesan bahwa kurban hanya bisa dilakukan oleh orang yang mampu.

    Lambang kemampuan itu lalu ditampilkan dalam kemampuan dalam publikasi di media massa, dalam tampilan dzahiriyah membawa hewan kurban ke tengah masyarakat, yang apabila kurang semarak dalam antusiame untuk suatu momen kemasyhuran, dan lain-lain. Maka kurban pun semakin sepi. Sebagaimana sering terjadi dalam pertuturan "Loh, kok kurban tahun ini sepi?" Orang disebelah ini lalu menjawab "Ya tahun lalu semarak kurban dimana-mana karena ada momen ini, momen itu".

    Ada pun orang yang tidak mampu terkesan dipinggirkan, dan lebih ironi terkesan meruntuhkan harga diri. Coba perhatikan ihwalnya kaum muslimin yang datang ke tempat pemotongan hewan kurban. Saling dorong mendorong, berebut-rebutan, berdesak-desakan, yang apabila tidak terkontrol emosi bahkan berantem.

    Kurban yang semulanya adalah ketertundukan dan kepasrahan berubah nuansanya, saling mengomel, marah, mencaci-maki baik antara sesama penerima mau pun antara penerima dengan panitita, dan lain-lain. Kurban yang semulanya adalah momen penyembelihan nafsu hewani, yang didalamnya rakus, buas, ganas yang justru harus disembelih, berubah menjadi keserakahan dan mempertinggi hawa nafsu.

    Ya, sekurang-kurangnya nafsu mendapatkan daging kurban. Disatu sisi penyumbang hewan lebih cenderung pada tampilan dzahiriyah (seremonial), pada sisi lain penerima dan pengelola (panitia) cendrung komersial dan hawa nafsu. Maaf, kalau tidak ada niat seperti itu maka patut kita syukuri tetapi kalau ada salah niat, kita semua berkewajiban memperbaiki.

    Kurban dalam kondisi seperti ini belum menyeluruh dalam tatanan kita, yang terkesan hanya bisa dilakukan oleh orang yang mampu sedangkan yang tidak mampu terkesan di lecehkan dengan hanya 1 kilogram daging berdesak-desakan, mengomel kiri kanan.

    Maaf, bukan merendahkan tetapi demi meluruskan kesan kurban kita selama ini. Alangkah eloknya kalau golongan yang tidak mampu itu diinventaris oleh panitia kurban lalu di distribusikan ke tempat-tempat yang terdapat golongan yang berhak menerima. Cara seperti ini lebih terormat dan lebih tertib.

    Bahkan mungkin saja cara seperti ini lebih menghargai orang yang tak mampu, tidak kepanasan, berdesak-desakan, mereka senantiasa ada di rumahnya lalu dihantarkan daging kurban oleh panitia, bukan mereka harus datang layaknya pengemis daging.

    Allah sendiri tidak menerima darah dan daging kurban itu melainkan takwa dalam pelaksanaan kita (QS.22:37), mengapa kita mengotori daging kita dengan niat dan cara pelaksanaannya, dan juga penerimaan yang tidak betul? (Abdul Razak - Staf Ibadah Masjid Raya Batam)
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Kurban Hewan atau Kurban Perasaan? Rating: 5 Reviewed By: Unknown
    Scroll to Top